“Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,
di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan
desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris
dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di
ruang tamu
tidak berselimut debu
karena memang dibaca”.
Bait
terakhir penggalan puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul Kupu-kupu di dalam Buku
merupakan suatu bentuk kritikan pada kita semua, masyarakat Indonesia, yang
memiliki minat baca yang begitu rendah. UNESCO mencatat indeks minat baca di
Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu
orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol
sampai satu buku per tahun. Tingkat literasi kita juga hanya berada pada
rangking 64 dari 65 negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris tingkat
membaca siswa Indoneisa hanya menempat urutan 57 dari 65 negara (Republika, 12
September 2015)
Semakin
banyak penduduk suatu wilayah yang semangat mencari ilmu pengetahuan, maka akan
semakin tinggi peradabannya. Budaya literasi sejatinya membutuhkan dukungan
politik dari Pemerintah dan DPR. Budaya literasi berkaitan dengan masa depan
bangsa, karena itu perlu mendapat perhatian serius. Perlu adanya dukungan dari
berbagai lapisan masyarakat di berbagai sector dalam membangun peradaban membaca
buku. JNE merupakan salah satu perusahaan swasta yang mendukung kemajuan
literasi dengan meluncurkan berbagai macam program, misalnya JNE mengirim buku
gratis ke Wamena sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan anak usia dini, JNE
berkolaborasi dengan Yayasan Anak Lebah Indonesia dalam pengiriman donasi 1000
buku untuk Rinjani, dan yang terbaru ini adalah kolaborasi dengan para pegiat
literasi ternama tanah air seperti kang Maman Suherman dengan menerbitkan buku
Bahagia Bersama dan komikus micecartoon M. Misrad.
Sejarah
mencatat, Indonesia kaya dengan pegiat literasi yang mumpuni. Kitab Soetasoma,
Negarakertakama, Baratayudha yang dikarang oleh Mpu Tantular, Mpu Prapanca, Mpu
Sedah dan Mpu Panuluh membuktikan bahwa nenek moyang kita bukan hanya mahir
berlaut namun juga cendekia sastra. Mengapa sekarang begitu loyo dalam membaca?
Derasnya kemajuan teknologi harusnya dibarengi dengan derasnya semangat membaca
dan menulis. Semua orang bisa menulis dan menerbitkan buku. Kata-kata itu
bukankah isapan jempol belaka. Semua bisa terjadi bila kita semua mau bekerja
sama dan saling menguatkan.
Bacalah,
bacalah, bacalah, tulislah, begitulah kata kang Maman dalam bukunya Aku Menulis
Maka Aku Ada. Semakin banyak membaca, semakin bagus dalam menghasilkan tulisan,
karena perbendaharaan katanya juga semakin banyak. Dari tulisan bisa mendapat
bayaran, itu hanya efek dari kebahagiaan melakukan apa yang kita sukai.
Setidaknya penulis – penulis handal seperti Habiburrahman El Shirazy, Ayu
Utami, Andrea Hirata, Anwar Fuadi, Asma Nadia, Tere Liye dapat mengetuk kita
untuk menyukai membaca dan menulis. Membacalah yang kamu suka, menulislah agar
tidak lupa. Selama kamu melakukan keduanya, kamu tidak akan menjadi orang yang
rugi.
Membuat
warisan intelektual adalah tanggung jawab kita bersama. Anak cucu negri jangan
hanya diwarisi oleh slogan gemah ripah loh jinawi, bukan jua dengan bukan
lautan hanya kolam susu, tapi dengan hasil literasi yang bermutu, untuk mengisi
jiwa – jiwa kosong agar jangan sampai hanya diisi sampah-sampah social media
yang mengeringkan nurani. Satu hari satu tulisan, satu bulan membaca 1 buku, bisa
kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar