Halaman

Minggu, 21 November 2021

Mendulang Prestasi Dengan Literasi

(sumber : http://2.bp.blogspot.com/)

 “Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,

di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca,

di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,

di tempat penjualan buku laris dibeli,

dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu

tidak berselimut debu

karena memang dibaca”.

 

Bait terakhir penggalan puisi karya Taufiq Ismail yang berjudul Kupu-kupu di dalam Buku merupakan suatu bentuk kritikan pada kita semua, masyarakat Indonesia, yang memiliki minat baca yang begitu rendah. UNESCO mencatat indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, pada setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat membaca. Masyarakat di Indonesia rata-rata membaca nol sampai satu buku per tahun. Tingkat literasi kita juga hanya berada pada rangking 64 dari 65 negara yang disurvei. Satu fakta lagi yang miris tingkat membaca siswa Indoneisa hanya menempat urutan 57 dari 65 negara (Republika, 12 September 2015)

Semakin banyak penduduk suatu wilayah yang semangat mencari ilmu pengetahuan, maka akan semakin tinggi peradabannya. Budaya literasi sejatinya membutuhkan dukungan politik dari Pemerintah dan DPR. Budaya literasi berkaitan dengan masa depan bangsa, karena itu perlu mendapat perhatian serius. Perlu adanya dukungan dari berbagai lapisan masyarakat di berbagai sector dalam membangun peradaban membaca buku. JNE merupakan salah satu perusahaan swasta yang mendukung kemajuan literasi dengan meluncurkan berbagai macam program, misalnya JNE mengirim buku gratis ke Wamena sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan anak usia dini, JNE berkolaborasi dengan Yayasan Anak Lebah Indonesia dalam pengiriman donasi 1000 buku untuk Rinjani, dan yang terbaru ini adalah kolaborasi dengan para pegiat literasi ternama tanah air seperti kang Maman Suherman dengan menerbitkan buku Bahagia Bersama dan komikus micecartoon M. Misrad.

(sumber : https://m.brilio.net/)


Sejarah mencatat, Indonesia kaya dengan pegiat literasi yang mumpuni. Kitab Soetasoma, Negarakertakama, Baratayudha yang dikarang oleh Mpu Tantular, Mpu Prapanca, Mpu Sedah dan Mpu Panuluh membuktikan bahwa nenek moyang kita bukan hanya mahir berlaut namun juga cendekia sastra. Mengapa sekarang begitu loyo dalam membaca? Derasnya kemajuan teknologi harusnya dibarengi dengan derasnya semangat membaca dan menulis. Semua orang bisa menulis dan menerbitkan buku. Kata-kata itu bukankah isapan jempol belaka. Semua bisa terjadi bila kita semua mau bekerja sama dan saling menguatkan.

Bacalah, bacalah, bacalah, tulislah, begitulah kata kang Maman dalam bukunya Aku Menulis Maka Aku Ada. Semakin banyak membaca, semakin bagus dalam menghasilkan tulisan, karena perbendaharaan katanya juga semakin banyak. Dari tulisan bisa mendapat bayaran, itu hanya efek dari kebahagiaan melakukan apa yang kita sukai. Setidaknya penulis – penulis handal seperti Habiburrahman El Shirazy, Ayu Utami, Andrea Hirata, Anwar Fuadi, Asma Nadia, Tere Liye dapat mengetuk kita untuk menyukai membaca dan menulis. Membacalah yang kamu suka, menulislah agar tidak lupa. Selama kamu melakukan keduanya, kamu tidak akan menjadi orang yang rugi.

Membuat warisan intelektual adalah tanggung jawab kita bersama. Anak cucu negri jangan hanya diwarisi oleh slogan gemah ripah loh jinawi, bukan jua dengan bukan lautan hanya kolam susu, tapi dengan hasil literasi yang bermutu, untuk mengisi jiwa – jiwa kosong agar jangan sampai hanya diisi sampah-sampah social media yang mengeringkan nurani. Satu hari satu tulisan, satu bulan membaca 1 buku, bisa kan?

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar